- Back to Home »
- ILMU ISLAM , KELUARGA , MOZAIK , SUNAH »
- Ketika Keutuhan Rumah Tangga Harus Diperjuangkan
Posted by : suqa bintang
Minggu, 10 Agustus 2014
Cinta
suami istri itu ibarat pendakian menuju puncak,keduanya akan memiliki
kekuatan jika sama-sama berkomitmen, saling berpegangan jemari,
merengkuh bahu, terkadang mungkin membopong. Ketika keletihan tiba
ditengah pendakian, idealnya keduanya mengembangkan pengertian dan
kesabaran. Pasangan itu berpelukan dan saling menguatkan, sambil menatap puncaknya yang indah. Bahwa mereka akan tiba disana yang bernama puncak bahagia.
Untuk perjuangan menuju puncak bahagia ini saya akan membuat tokoh ilutrasi bernama Rina dan Teddy dahulu menikah atas nama cinta. Melewati perjuangan yang gigih kehadapan orang tua masing-masing, keduanya meyakinkan, bahwa mereka layak menjadi pasangan suami istri.
Pasangan di mabuk asmara ini segera menikah. Owh..ternyata
beberapa lama setelah akad nikah berumah tangga itu tak seindah warna
aslinya. Suaminya yang dahulu berkata manis, sekarang pandai membentak.
Jika marah, benda-benda di rumahnya melayang, dan sifat-sifat buruk
lainnya yang tak terlihat waktu pacaran. Tentu saja ini menjadi kejutan
mental tersendiri untuk Rina. Rina mencoba terus bertahan, mempertahankan rumah tangganya, sekalipun sempat seluruh cinta di hatinya ia pertanyakan ulang, bahkan goyah.
Namun kemudian ia memahami bahwa pernikahan adalah serangkaian
komitmen, peran dan tanggung jawab tidak melulu atas nama cinta.
Dengan kesabaran penuh, ia tetap bertahan. Ia berharap, seiring waktu dan kelahiran putra-putranya Teddy akan semakin dewasa. Rina tidak
pernah berniat meninggalkan Teddy, kendati ia adalah perempuan yang
mandiri. Ada suami atau pun tiada, tidak sulit baginya secara financial.
Namun, Rina menyadari, kehidupan ini serangkaian proses menuju
pendewasaan. Dan masalah adalah guru terbaik dalam kehidupan yang fana
ini. Kira-kira mungkin dalam pemikiran Rina senada dengan ucapan Ajahn
Chah, “ Apa pun yang mengganggumu, jangan coba memusnahkannya, tapi belajarlah darinya.”
Kemudian ia pandang wajahnya sendiri pada cermin, ia katakan pada dirinya, “
Wahai diriku..engkaulah seharusnya pemilik kecantikan jiwa yang
sempurna, kalungkanlah ke leherku kesabaran, riaslah wajahku dengan
ketenangan, hiasilah hatiku dengan ketulusan cinta, dan biarkan bibirku
selalu tersenyum walaupun hatiku terluka…” Lalu ia tersenyum untuk dirinya sendiri, yang memantul indah dari cermin di kamarnya.
Setiap hari ia mencoba belajar untuk meluluhkan suaminya. Ia teringat sebuah ayat dalam Al Qur’an, “ Tolaklah kejahatan dengan kebaikan.”. Maka,
perlakuan buruk suaminya, ia balas dengan kebaikan-kebaikannya. Ia
percaya bahwa seluruh kebaikan maupun kejahatan akan berpulang pada
dirinya. “ Allah Maha Teliti terhadap apa pun yang kamu kerjakan.” Demikian yang Rina baca dari surah An-Nisaa.
“ Kau tahu, kekuatan dan ketinggian manusia berasal dari kemampuan melayani dan memahami.” kata sebuah percakapan yang Rina dengar dari film di televisi. Lalu ia layani suaminya dengan santun, ia mencoba memahami seluruh keterbatasan Teddy. Ia kembangkan kepribadiannya, menjadi pribadi yang melimpah. Cinta Rina tidak untuk mengambil melainkan untuk memberi. Maka setelah itu deritanya mulai terasa lepas, hatinya menjadi semakin ringan, dan begitu mudah memaafkan.
Cinta Rina semakin kuat tatkala membaca sebuah bait dalam buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya, Ajahn Brahm,“ Kapan
pun anda melakukan sesuatu, janganlah mengharapkan imbalan apa pun.
Jadikanlah memberi sebagai kesenangan. Bersuka citalah dalam memberi dan
tak harap kembali. Itulah cara indah untuk melepas.” Aku tahu, untuk mempertahankan kebersamaan dalam perbedaan itu, saya harus mau mengorbankan apa pun ..” bisiknya dalam hati.
Kini Rina kian mengerti, bahwa jodoh adalah satu paket dalam sebuah pernikahan,
dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ia tak mungkin memilih yang
baik-baiknya saja dari Teddy. Kepada komitmen dan ketulusan cinta Rina
percaya, Ia akan membuktikan kasih dan ketulusan dalam tindakan, seperti kata Tagore.. “ Jika ia semata-mata kepedihan, ia akan mengembang jadi senyuman ringan, dan kau dapat lihat dalam sekejap. Jika
ia semata-mata hanya kepedihan, ia akan mencerna menjadi air mata
bening, mengaca, membiaskan rahasianya yang terdalam tanpa kata “
Begitulah, setiap pasangan. Boleh jadi saya maupun anda adalah pendaki-pendaki itu.
Mungkin pasangan anda tertatih-tatih bahkan perlu anda bopong menuju
puncak bahagia. Maka bersyukurlah yang masih memiliki visi kehidupan,
andai pun pasangan tak sesuai harapan dan kita bersabar atasnya,
kemenangan dan keindahan hidup tetap milik kita, karena kita telah
berhasil mendaki puncak ruhani dan bermesraan denganNya. Bukankah
pernikahan selalu melibatkan atas namaNya.?
_____
Bandung, 3 Juni 2011
Sumber gambar : www.visualphotos.com